Saat
menjadi pegawai paling senang melihat tanggal merah dihari Jumat. Yang ternyata
hari tersebut merupakan tahun baru imlek yang sering-nya akan turun hujan
seharian penuh. Namun tak mengurungkan niatanku untuk mengajak teman kantor trekking ke salah satu gunung di jawa
tengah.
Gunung
merbabu yang letaknya diantara Kabupaten Salatiga, Boyolali dan Magelang ini
menawarkan keindahan yang memanjakan mata dengan padang rumput hijau yang biasa
disebut Sabana. Dengan ketinggian 3.142 Mdpl, ada beberapa jalur pendakian aman
yang biasa dilewati, yakni jalur Cunthel, Selo, Wekas dan Thekelan.
Penginnya
sih lewat jalur selo, namun setelah berdiskusi via telpon dengan Pak Tono,
pengelola basecamp Gunung Merbabu. Kami diarahkan melalui jalur Cunthel karena
rekam jejak kami sebagai pendaki sama sekali belum ada.
Dengan
menggunakan kereta ekonomi Brantas jurusan Kediri, kami menuju stasiun
Solojebres. Di sepanjang perjalanan kami berinteraksi dengan beberapa penumpang
yang duduk berdekatan. Ada kalanya mereka bercerita tentang suka-duka
menghadapi kehidupan yang bagi kami cukup menjadi bekal kehidupan akan datang.
Sambil
menunggu teman dari Surabaya. Kami mencari warung makan untuk mengganjal perut
yang sudah lapar dari semalam. Saat berada di gerbang keluar stasiun Solojebres
terdapat warung gudeg yang penuh dengan para pembeli yang memancing seleraku
untuk mencoba.
Dari
Terminal Tirtonadi menggunakan bus menuju Salatiga (halte pasar sapi). Kemudian
lanjut menggunakan mini bus jurusan Salatiga-Magelang turun di areal wisata
Kopeng, tepatnya di Bumi perkemahan Umbul Songo. Dari sini perjalanan dimulai
dengan berjalan kaki menyusuri jalan setapak berbatu menanjak yang melewati
hamparan hutan pinus dengan udara yang begitu sejuk.
Ketika
sedang duduk beristirahat menikmati sejuknya udara yang berhembus ditanjakan
terakhir sebelum menuju basecamp Cunthel, tiba-tiba ada rombongan para pendaki
menggunakan mobil pickup berhenti didepan kami dan dengan
baiknya mereka mengajak kami ikut serta. Alhamdulilah...
Saat
sampai didepan basecamp Cunthel, satu persatu dari kami turun dari bak belakang
mobil pickup. Diikuti oleh pria separuh baya berkaca mata yang dari tadi
duduk disamping supir mobil pickup tersebut. Setelah berkenalan ternyata
pria tersebut ialah Pak Tono. Pria yang selama ini hanya mendengar suaranya via
telpon saja. Dengan senyum ramah yang khas beliau banyak bercerita mengenai
Merbabu, kamipun mendengarkannya dengan hikmat sampai-sampai cacing diperutku
ini ikut bergejolak alias lapar.
Saat
hendak mencari warung nasi terdekat dari basecamp berada, lagi-lagi dengan
senyum ramahnya yang khas pak Tonomengajak kami bertandang ke rumah beliau. Di
kediaman pak Tono yang sederhana namun terasa nyaman tersebut, kami menata
ulang kembali susunan barang-barang didalam tas carrier sambil menunggu makanan dihidangkan oleh bu Tono. Bukannya
sehabis makan langsung bersiap-siap melakukan pendakian, kami malahan tertidur
pulas diruang tamu. Udara yang cukup
sejuk membuat kita enggan segera beranjak.
Setelah
hampir dua jam lebih kami terlelap, saya segera menghubungi pak tono untuk
segera pamit. Tepat pukul empat sore dengan ditemani salah satu warga dusun
Chuntel, pak Sumanto panggilannya kami memulai pendakian. Dari dusun Chuntel
kami melintasi perkebunan penduduk, ada beberapa tumbuhan yang mereka tanam
diantaranya Kol dan daun bawang. kemudian jalur setapak menanjak yang berliku
menyapa kami hingga pos bayangan I. Di
pos ini terdapat bangunan permanen yang kami gunakan untuk beristirahat dan
berteduh karena rintik-rintik hujan mulai turun.
Sambil
menunggu rintik-rintik hujan, saya sempat iseng bertanya kepada pak
Sumanto. Berapa lama waktu yang bisanya
ditempuh sampai puncak Merbabu. Beliau mengatakan tergantung. Pertama,
tergantung siapa yang mendaki. Apakah pria, wanita, sudah berumur atau masih
remaja. Kedua, Seberapa banyak pada pendaki membawa camera dan cadangan
baterai.
Dibawah
rintikan hujan kami melanjutkan perjalanan menuju pos bayangan II menggunakan
jas hujan. Pos ini merupakan dataran sempit yang hanya mampu menampung sekitar
3 tenda untuk menginap. Langit yang mulai gelap dan hujan yang semakin deras
menemani kami diperjalanan melewati Pos 1. Ditambah seruan pak Sumanto dari
depan yang selalu menyemangati kami membuat jarak menuju Pos 2 terasa tidak
begitu jauh. Pos ini sebenarnya sangat ideal dijadikan tempat menginap. Dataran
lapang dengan beberapa pohon besar yang menghalangi angin, sehingga aman dari
hembusan angin kencang. Namun saat kami tiba sudah banyak tenda yang berdiri,
sehingga memaksa kami untuk melanjutkan perjalanan.
Pepohonan
yang mulai berkurang membuat hembusan angin semakin kencang, ditambah perut
kami yang mulai lapar membuat kondisi fisik kami sedikit menurun. Kami sempat
beristirahat agak lama dibawah derasnya hujan karena disaat melewati tanjakan
agak curam, otot paha saya agak kram. Selang tak beberapa lama dari tanjakan
tersebut, senyuman ceria kembali
menghiasi wajah kami. Terlihat tanah lapang dengan bongkahan bukit besar, cukup
aman membangun tenda untuk kami beristirahat dimalam itu.
Hembusan
angin yang begitu sejuk sambil menikmati segelas kopi menjadi terasa nikmat
dipagi itu. Ditambah pemandangan yang
begitu indah membuat hati ini tidak berhenti mengucapkan syukur atas keindahan
alam yang diciptakan oleh tuhan. Setelah membereskan tenda dan perlengkapan
lainnya kedalam tas, kami meninggalkannya di balik pepohonan yang lebat untuk
memudahkan dan meringankan beban kami ketika menuju puncak.
Saat
menoleh ke belakang ditengah perjalanan menuju pos 4, tampak dari kejauhan
Gunung Sumbing, Sindoro, Ungaran dan Telomoyo berjejer mengelilingi seakan
sedang menjaga kami. Langsung saja dengan sigapnya kami berpose bak seorang
model ditengah ilalang-ilangan.
Pos
4 sendiri merupakan menara pemancar milik TNI yang sudah lama tidak digunakan
lagi. Disini juga merupakan titik pertemuan antara jalur Chuntel sebelah kiri
dan jalur Thekelan sebelah kanan saat akan kembali turun.
0 comments